Hj. Juliesti

Sedang bergelut di Jurnalistik bersama tim Literasi cilik di Batu Bara ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Si Raja Pantun (Tantangan Hari ke 9 Tantangan menulis di gurusiana)

Jangan engkau tanya namaku

Jangan kau tanyakan padaku

Jangan kau pikir aku malu

Itu ku sandang sejak dulu

Topan dan badai datang menyerang.......

Alunan lirik lagu yang disampaikan oleh Ratni, begitu sangat memukau seluruh peserta yang ada di gebyar pendidikan itu. Tak heran mengapa ia sangat terkenal di jagat musik melayu, khususnya di Sumatera Utara.

Wanita berkerudung ini kerap menjadi pengisi acara pada even tertentu, bukan karena kebolehannya dalam dunia seni suara tapi juga ia merupakan salah seorang pengasuh sanggar budaya yang ada di kabupaten.

Ia selalu didampingi oleh seorang pembina yang sudah menjadi partner kerjanya di sanggar itu. Beliau bukanlah orang biasa. Tetapi ia juga fleksible dengan segala macam kelebihannya dalam bersenandung lewat lagu Melayu, bahkan juga berkata bijak lewat pantunnya.

Rumahnya tak jauh dari kediamannya, adalah seorang ayah dari lima anak, yang selalu memotivasi Ratni untuk selalu percaya diri dan sabar dalam menjalankan aktivitasnya di dinas. Orang tua ini tak sedikit mengeluarkan banyak saran dan nasehat agar ia juga harus banyak berkarya. Pak Risman, orang memanggilnya.

“Bukan hamba mengharap sembah

Sembah seorang pada sang raja

Bukan hamba minta disembah

Tolong sampaikan maksud saudara saja.”

Untaian pantun pembuka acar meminang itu dilantunkan oleh beliau ketika Edo dan Ratni menghadiri acara keluarga tetangga Ratni.

Ado urang

Jalan ba lenggok

Ajo nan gadang

Bagitu elok

Urang malenggok

Kaki ba iring Senang hati awak tengok

Hai ado yang shootting

Awak marajut Si kain sobek

Badan takojut urang mancolek

Air perigi Ba tudung saji

Awak nak pogi ka guru ngaji

Kilau nan elok Si matohari

Badan nan elok Borsihkan diri

Amboi lagak

Gayo si Pudan

Kuniang nan rancak

sungguah sapadan

Lelaki tinggi kelahiran Minangkabau ini, selain terkenal sekali dengan keilmuannya yang sangat brilian, ternyata ia suka berpantun. Terbukti dari pemikiran dan gagasannya yang selalu dipaparkan olehnya ketika ia memberi pengarahan dan penguatan pada acara dinas, serta kesabarannya dalam bertindak dan bertutur kata. Ia juga brilian dalam bertutur pantun pada setiap even.

Banyak hal yang selalu ditularkannya dalam ide-ide yang dimunculkannya pada kegiatan seminar yang diselenggarakan di dinas pendidikan.

Edo, yang baru beberapa kali ke kantor dinas itu, tak jarang bertemu dengan lelaki hero yang super itu. Beliau juga memberi motivasi dan secercah semangat agar Edo dapat berkembang lebih banyak dalam berbagai kegiatan yang ada di sekitar sekolahnya maupun di luar.

Lima tahun berada di kampung halamannya dan bertugas jauh dari rumah tinggalnya, membuatnya semakin tertarik untuk selalu belajar dan terus belajar dari orang nomor satu di bidang pendidikan itu.

Baginya adalah suatu pembelajaran yang paling berharga, mendapatkan sugesti dan motivasi dari seorang yang layak dianggap ayah sendiri.

Pada suatu sore yang terik, tak biasanya Edo menghabiskan waktunya untuk membaca buku di pojok baca dekat halaman kelasnya. Waktu sudah menunjukkan puluh empat sore, ia biasa di sana. Membuat catatan kecil dari hasil pembelajaran tadi, rembukan dengan teman dan merumuskan gagasan untuk perbaikan. Untungnya Edo tidak sendiri, ia bersama seorang teman.

Nugrah, nama guru itu. Ia guru bahasa Arab di sekolah itu.Ia tu lah nama lengkapnya dia lupa, tak pernah melewatkan waktunya percuma begitu saja. Ia terus menuliskan catatan harian di jurnalnya. Sampai akhirnya jurnal itu pernah dibukukannya untuk bahan penelitian tindakan kelasnya. Lelaki bertubuh pendek ini memiliki hobbi menulis. Hanya saja belum kesempatan bagi dirinya untuk bisa menang dalam lomba menulis di sekolahnya. Dan itu tidak membuatnya sakit hati atau kecewa. Ia terus belajar dan belajar dari kekurangannya.

“Sore, pak!” seorang siswa menyapa Edo yang sedang bercerita dengan Nugrah di beranda pojok baca itu.

“Boleh minta tanda tangannya, pak?”tanyanya lagi sambil memberi sebuah buku kecil dari saku bajunya.

“Apa ini?” tanya Edo dan Nugrah bersamaan.

“Ini hanya sebuah data saya untuk laporan tugas kelompok. Bahwa saya pernah membaca buku ini dari pojok baca sini,pak!” pungkas anak itu brilian.

“Oh, begitu! Mari saya tanda tangani. Di sini ?”tanya Edo sabar.

“Terima kasih, pak!”

“Kembali” jawab Nugrah

“Anak itu sangat pintar di kelasnya”, ujar Nugrah membuka cerita.

“Ia selalu memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca. Sementara belum datang jeputan kakaknya, yang masih belajar di sekolah sebelah, ia duduk membaca di sudut baca ini!”

“Lihatlah, beberapa buku yang telah ia baca selama sebulan ini!” Nugrah, teman Edo pun mengambil buku daftar pembaca dari gerobak baca tersebut. Ia memperhatikan secara seksama akan kebiasaan Aditia, nama anak tadi, yang merupakan siswa kelas delapan di sekolah itu. Aditia Ramadhan, kerap mendapat juara di kelasnya setiap semester. Bahasa tulisannya yang rapi dan jelas, sesuai dengan penampilannya, menambah kagum bagi siapa yang melihatnya. Dia juga suka menulis di mading sekolah. Tulisannya sering mendapat pujian dari kepala sekolah dan juga dari pembaca yang datang dari sekolah lain.

“Aditia “, gumam Edo. Teringat peristiwa seminggu yang lalu, ketika Edo memasuki kelas delapan tiga di jam pembelajarannya. Ia tidak berada di kelasnya sebelum ia memasuki kelas. Ia terburu-buru masuk ke kelas usai masa istirahat itu. Ia sempatkan membaca di sudut baca itu sembari menyelesaikan tugas yang diberikan Edo pada dua hari sebelumnya. Edo tidak pernah menghukum siswanya yang terlambat masuk ke dalam kelasnya. Ia hanya menginginkan kejujuran siswanya untuk melaporkan kejadian apa yang membuatnya terlambat. Aditia, yang siang itu terlambat masuk di kelas Edo, sebagai guru Bahasa Inggris, ia sangat menyenangi Ilmu Sains, menanyakan tentang apa yang dilakukan Adit sehingga ia terlambat. Adit hanya terdiam sesaat, sembari memperhatikan sekitar kelasnya, lalu ia tertunduk dan ia mulai angkat bicara. Bahwa ia terlambat karena menyelesaikan membaca buku tokoh Albert Esteins yang ada di rak baca di sudut sekolah. Ia sangat mengidolakan penemu Listrik itu. Ia ingin menjadi seperti Enstens yang terus mencari informasi dan ingin tahu tentang apa saja. Olala, senangnya hati Edo mendengar jawaban si kutu buku ini, yang memiliki cita-cita yang sangat tinggi seperti ilmuwan yang ada di dalam buku itu. Ialah sang idola bagi Aditia.

Edo mempersilahkan Adit duduk di bangkunya dan meneruskan kegiatan pembelajarannya.

Nugrah menyodorkan sebuah undangan kebudayaan di Hari Jadi Batu Bara, tepatnya 8 Desember 2017. Wow, indah sekali tulisan pada cover undangan tersebut.

“Titip ya, tolong berikan ini pada pak Risman. Semoga beliau bisa hadir!” ungkap Nugrah. Edo berharap sama, kiranya beliau dapat menghadiri acara kebudayaan setahun sekali itu.

Berlalu waktu tak terasa, sudah memasuki Desember minggu pertama. Seluruh pengunjung sudah banyak hadir pada hari agung yakni Hari jadi Batu Bara yang ke sepuluh. Para undangan ada yang mendapat tempat duduk istimewa di barisan bangku vip. Ada yang berdiri sembari melirik tak ada lagi tempat yang kosong. Nugrah dan Edo sudah ada di bawah dekat stand Dinas Pendiddikan.

Riuh redah suara tepuk tangan terdengar ketika seorang pembawa acaara sudah mulai membuka acara dengan pantunnya.

Bur gedebur ikan di laut

Ikan di tangkap si anak nelayan

Acara mulai dijelang dan kita sambut

Pada tetamu kami ucapkan selamat datang

Anak perawan di tepi kali

Menatap batu bertanah merah

Pada hadirin kami harap sekali lagi

Tetap lah tenang di bangku sana

Ikan gurami di daun talas

Talas dibawa dari hutan

Pada hari siang yang mulai panas

Mari kita jelang kata sambutan

Yah, kata sambutan akan disampaikan oleh yang mulia, bapak Ketua Panitia ......

Terdengar betapa indah memukau pantun yang dilantunkan oleh pembawa acara. Tampak gagah dengan songket kebesarannya menaiki panggung utama, Pak Mus, si Raja Pantun telah membuka acara dengan indahnya.

Yusuf, menemani adik Edo yang kebetulan datang di acara kebesaran itu tampak senang dengan pantun yang begitu banyak disampaikan. Tak ada yang dapat menandinginya. Nike, nama gadis itu, hanya tersenyum setelah tahu betapa ia adalah pak Mus, itu adalah tetangganya sendiri.

“Kami banyak belajar dari dia. Mau jadi MC harus ketemu dulu dengannya. “ tutur wanita berkulit putih itu.

“ Ya, kami harus menata bahasa kami seindah itu, agar tampak pada semua orang memang ‘odan anak Batu Bara’ lho !” pungkas Nike.

“Maksudnya ?” tanya Yusuf yang galau dengan bahasa Nike.

“Odan anak Batu Bara” ....Nike menunjukkan dadanya ketika ia bilang ‘odan’

“Aku anak Batu Bara? Gitu ?!”

“Yes. Kamu gak salah lagi. He he he...”

Getar panggung oleh pantun pak Mus si Raja Pantun telah mengundang tawa dan tepuk tangan yang meriah memuji dan mencermati sanjungan yang diungkapkannya menambah indahnya suasana hari nan bersejarah di sudut kota kecilku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post